Liburan adalah sesuatu yang ditunggu-tunggu. Mulai dari anak sekolah, pegawai swasta dan pemerintah. Golongan ekonomi atas,menengah dan bawah. Yang memiliki uang sedikit ataupun berlimpah.
Liburan dianggap sebagai hiburan. Melepaskan penat dan menurunkan beban yang menggelayuti pikiran, bahu dan lengan. Setiap tahun, bulan ataupun pekan, orang mencari mainan, santapan, ataupun kudapan yang mengasyikkan.
Liburan dianggap sebagai rekreasi. Menyegarkan kembali kreativitas dan imajinasi. Menumbuhkan motivasi, merobohkan kejenuhan nalar dan kreasi.
Dahulu, ketika arus informasi tak segencar saat ini, bentuk liburan sangatlah beragam. Orang bisa mengisi dan menikmati liburan dengan bermacam bentuk dan rupa tanpa harus mati gaya. Tengok saja, Pak Dahlan Iskan mengisi liburan dengan melihat keangkeran sumur keramat. Iwan setiawan menikmati liburan dengan mengepel lantai rumah. Atau pun saya sendiri di waktu kecil berbahagia menikmati liburan dengan mencari ale(kecambah buah klampis yang tumbuh di awal musim penghujan), menangkapi laron atau mengais-ngais tanah tegalan memburu jangkrik atau mengejar-ngejar kepik. Mungkin seasyik anak-anak gunungkidul menangkapi belalang, ulat atau kepompong jati dijadikan kudapan dan lauk menenangkan hati. Selain dimakan sendiri, mereka menjualnya. Liburan berfungsi ekonomi. Liburan menghasilkan uang.
Namun, saat ini informasi datang membanjiri. Media cetak dan elektronika pelopornya. Media begitu gencar mendefinisikan liburan. Media mendikte, mengarahkan dan membentuk persepsi pembaca dan pemirsa tentang makna liburan. Liburan adalah berkunjung ke Bali, Ancol atau taman mini, destinasi di dalam dan luar negeri. Liburan berfungsi ekonomis, Liburan menghabiskan uang.
Pembaca dan pemirsa media dengan mudahnya digiring untuk membeli paket-paket liburan dengan destinasi menggiurkan dan layanan yang tidak percuma. Bagi orang yang memiliki dana berlibur tak jadi soal. Tapi ini menjadi berbahaya bagi mereka yang tidak mempersiapkan diri dengan dana berlibur. Tak punya dana tapi persepsi liburan telah teracuni media. Betapa malangnya dia dengan keadaan yang dideritanya. Tengok saja status-status facebook. Begitu galau dan tak bahagia tak berlibur ke tempat liburan yang ditawarkan.
Kebahagiaan , bagi kebanyakan orang saat ini, mensyaratkan banyak hal. Semisal: tak punya hp, tak bahagia. Punya hp tapi tak bermerek terkenal tak bahagia. Punya hp bermerek tapi tak punya pulsa, tak bahagia. Punya hp idaman, pulsa melimpah tapi lowbat, tak bahagia. Hp idaman, pulsa melimpah bateri penuh tapi tak dapat sinyal, tak bahagia. Punya hp bermerek, pulsa berlimpah, baterai penuh, sinyal membanjir tapi tak ada kawan yang ol, tak bahagia. Demikianlah seterusnya…
Kalau kita melihat keluar untuk mencari bahagia tentu tak akan bisa terpuaskan. Dan hukum ekonomi mengatakan hal itu. Kepuasan tanpa batas, alat pemuas sungguh terbatas. Orang bijak mengajak kita menengok ke dalam. Kita cari bahagia di relung hati. Kita akan temukan di sana. Dan apapun aktivitas liburan yang dilakukan, walaupun sederhana, akan mendatangkan bahagia. Karena kita berlibur di hati kita. Atau kalau kau izinkan, bolehkah aku berlibur di hatimu?